Entri Populer

Sabtu, 30 Oktober 2010

PERAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DALAM SKALA KAJIAN ARKEOLOGI LANSEKAP (BENTANG LAHAN)


Oleh :
Lukas Yakobus Gue Ea * )
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Nusa Cendana
Kupang




ABSTRAK
Perkembangan Sistem Informasi Geografis (SIG) akhir-akhir ini telah berimbas pada kepentingan arkeologi, baik di tingkat pendugaan dan eksplorasi situs, presentasi distribusisitus, beragam jenis analisis dan pemodelan spasial, hingga ke tingkat pengelolaan sumberdaya arkeologi (PSA) khususnya untuk pengambilan keputusan. Di sisi kajian arkeologi, tuntutan dan tugas berat ke depan, adalah bagaimana disiplin ini mampu mengakses, mengolah dan menstrukturkan, menyajikan, dan meng-update terus-menerus semua informasi geo-kultural dalam dimensi bentuk, waktu, dan ruang yang semakin tak terbatas kompleksitasnya. Semua bentuk informasi geo-kultural beserta dinamikanya, yang menjadi substansi dari suatu kondisi lansekap, menuntut arkeologi untuk “berkiprah” dalam berbagai skala kajian secara multidisipliner. Keberadaan basis data lansekap yang komprehensif dan terstruktur, serta kemampuan menganalisis dan mengevaluasi bentuk bentukinter-relasi antar fenomena geosfera, adalah modal dasar bagi keberhasilan kajian seperti ini.
Kata Kunci: Sistem Informasi Geografis (SIG), Arkeologi Lansekap

Sig tumbuh sebagai respon atas kebutuhan akan pengelolaan data keruangan yang lebih efisien dan mampu menyelesaikan masalah-masalah keruangan. Para perencana dan pengelola sumberdaya alam maupun kalangan militer yang banyak menggunakan petauntuk menyajikan kondisi muka bumi, mulai merasakan bahwa pembuatan danpenggunaan petamanual memiliki banyak kelemahan. Selain sulit dilakukan perbaikan danpenambahan informasi, penggabungan peta dengan informasi dari sumber lain, apalagisecara multitema, tidak mungkin dilakukan. Dengan berkembangnya pemanfaatankomputer untuk penanganan data geografis pada awal tahun 1980an hambatan tersebutakhirnya dapat diatasi. Teknologi SIG pun berkembang dan terus-menerus mengalamipenyempurnaan seiring dengan semakin banyaknya pihak-pihak yang memanfaatkannya(Suharyadi & Danoedoro 2004).
SIG adalah suatu sistem untuk mengumpulkan, menyimpan, memanipulasi (memodelkan),menganalisis, dan menyajikan sekumpulan data keruangan yang memiliki referensi geografis atau acuan lokasi (Johnson 1996). Secara teknis, SIG juga merujuk pada suatu sistem informasi yang menggunakan komputer dan mengacu pada lokasi geografis yangberguna untuk membantu pengambilan keputusan (Puspisc UGM 2004). Sebagai suatu sistem informasi, pengoperasian SIG memerlukan sekurang-kurangnya tigakomponen dasar yang terdiri atas hardware, software, dan brainware (Suharyadi &Danoedoro 2004, Puspics UGM 2004). Hardware (perangkat keras) merupakan perangkatfisikal untuk melaksanakan pekerjaan secara keseluruhan, termasuk semua jenis peripheralmasukan dan keluaran data. Beberapa jenis komputer, scanner, meja dijitasi, GPS reciever,kamera, printer, plotter, serta media-media penyimpan dan penayang data, merupakanbagian dari perangkat keras ini.Software (perangkat lunak) mencakup program dan user interface untuk mengendalikan perangkat keras, baik berupa software sistem yang mengontrol kerja komputer secaraumum, maupun software aplikasi yang melaksanakan fungsi-fungsi khusus sesuaikebutuhan pengguna. Beberapa jenis perangkat lunak yang umum digunakan di antaranyaArc/INFO, ArcView GIS, ArcGIS, MapInfo, ILWIS, AutoCAD Map, GRASS GIS, danGeoMedia. Selain itu masih ada beberapa perangkat lunak lain untuk pekerjaan imageprocessing yang berorientasi geografis, di antaranya ILWIS, ER Mapper, ENVI, PCIGeomatics, TNT Mips, IDRISI, dan ERDAS.
Perangkat lunak SIG memiliki kemampuan membaca data dari beragam format perangkatlunak lain, sehingga mampu mengatasi berbagai kendala dalam analisis spasial. Dengankemampuan ini, upaya untuk saling mempertukarkan data yang menjadi masukan dan hasilyang menjadi keluarannya tidak perlu memaksa para pengguna untuk terlebih dahulumengkonversi semua datanya menjadi format tertentu. ArcView GIS, misalnya, mampumengintegrasikan file-file drawings format CAD ke dalam lingkungannya tanpa harusterlebih dahulu mengkonversinya ke dalam themes atau shapefile ArcView GIS. Hanya dengan mengaktifkan ekstensi Cad Reader, para pengguna akan mampu membuat,menampilkan, dan mengaktifkan tema-tema secara langsung dari files drawing format CAD tersebut apa adanya; termasuk menyisipkan beberapa file secara simultan,memberikan simbol, warna, mengirim query, dan melakukan analisis sebagaimana halnyaterhadap shapefiles ArcView GIS sendiri. Selain itu, para pengguna juga dapat melakukanoperasi gabungan (joint operation) antara data tabel dengan fitur-fitur spasial di dalamdrawings CAD, dan kemudian menganalisis hubungan-hubungan spasial, baik di antaraunsur-unsur spasial pada drawings CAD maupun dalam sumber data yang lain. Fitur-fiturspasial di dalam file drawings CAD yang dimaksud adalah dari perangkat lunak Autocad(format .DWG dan format .DXF) dan MicroStation (format DGN) (Prahasta 2004).
ArcView GIS dan ArcGIS, sebagai perangkat lunak aplikasi yang umum digunakan,memiliki kemampuan untuk mengkombinasikan sejumlah sumber data terpisah, antara data grafis dan data atribut. Data grafis atau data spasial adalah data digital yangmenggambarkan peta (permukaan bumi) yang meliputi koordinat, garis, dan simbol yang menunjukkan elemen-elemen kartografis. Data atribut atau data tabular adalah tabel yangmenggambarkan karakteristik, kualitas, atau hubungan kenampakan peta dan lokasigeografis (Suharyadi & Danoedoro 2004, Johnson 1996).Di samping kehandalannya dalam melakukan data capture (input), penyimpanan,pengeditan, pemodelan, analisis, sintesis, serta penayangan informasi, keistimewaanperangkat lunak SIG lainnya terletak pada konsistensinya dalam mensyaratkan sajianinformasi spasial yang bereferensi geografis (berkoordinat). Semua fenomena geosferadapat ditampilkan dan dikompilasikan secara tepat dan akurat. Keutuhan informasi spasialyang dibutuhkan, diproses, dan dihasilkan olehnya, menunjukkan eratnya hubungan antaraSIG dengan berbagai bentuk sajian keruangan terutama peta, citra satelit dan data GPSreciever. Dengan kata lain, SIG tidak dapat dilepaskan dari peta dan hasil-hasil penginderaan jauh yang menjediakan data vital mengenai berbagai fenomena keruangan pada tingkat akurasi yang dapat dipertanggungjawabkan (Yuwono 2004).
Kedua jenis perangkat di atas (hardware dan software) tidak akan beroperasi secaramaksimal tanpa perangkat pikir manusia (brainware) yang mengendalikan aspek tujuan,manfaat, alasan, dan justifikasi dalam penggunaan SIG. Dalam hal ini dibutuhkan beberapakualifikasi keahlian sebagai komponen pelaku, di antaranya operator, teknisi, analis, pengambil keputusan, programer, kartograf, dan ahli penginderaan jauh. Sinergi darimereka dibutuhkan untuk menjalankan empat kegiatan pokok dalam SIG, yang dikenal.
sebagai IMAP-model, meliputi (Puspics UGM 2004):
1)    Input : antara lain digitasi, scanning, transformasi data, konversi data, dan koneksi dengan perangkat lain (input device).
2)    Manajemen : antara lain pengelolaan basisdata, struktur data, kamus data,metadata, standardisasi data, dan kontrol kualitas.Basisdata yang dimaksud berupa kumpulan data grafis danatribut (tabel) yang saling terkait menjadi satu kesatuan,yang dapat ditambah, diperbaiki, dan dipanggil kembali secara tepat untuk berbagai keperluan.
3)     Analisis/Proses : antara lain overlay, spatial joint, buffer, Digital ElevationModel (DEM), network, modelling, editing, kalkulasi danintegrasi data, serta klasifikasi dan rektifikasi.
4)    Presentasi/Output : meliputi map composition, print control quality, dan interactive maps, yang dapat menampilan peta-peta tematik(sintetik), tabulasi, dan sistem informasi spasial Pola pikir SIG, adalah bagaimana menghasilkan informasi yang sama sekali baru melaluibentuk-bentuk pemrosesan spasial terhadap tema-tema yang berbeda. Dalam pemrosesandata tersebut dibutuhkan pemahaman tentang inter-relasi logis antar unsur geografis untukmenghasilkan suatu sintesis, sebagaimana alur yang ditempuh dalam pembuatan peta-petatematik-sintetik. Tema-tema apa saja yang diperlukan dan bagaimana alur pemrosesannya,merupakan bagian dari brainware yang harus dikuasai untuk menghasilkan suatu informasibaru (lihat bagan 1).
Bagan 1. Contoh overlay peta multitema untuk membuat informasi baru
(Sumber: Puspics UGM 2004)
Sebagai contoh, dalam melakukan zonasi lahan, input datanya berupa peta-peta komponen lahan (lereng, penggunaan lahan, sifat fisik dan kimia tanah, dan status lahan), dankeluarannya adalah Peta Zona Lahan (Suharyadi dan Danoedoro, 2004). Contoh lainmengenai alur pikir pemrosesan data yang memerlukan pengetahuan khusus tentang suatufenomena alam adalah analisis bahaya erosi terhadap distribusi candi. Seringkali PetaBahaya Erosi belum tersedia, sehingga harus dilakukan analisis multitema. Persoalannyaadalah, tidak semua peta tematik sesuai untuk jenis kajian ini. Di sinilah perlunyapemahaman tentang fenomena erosi untuk menentukan tema-tema yang relevan, berupaPeta Curah Hujan, Peta Lereng, Peta Geologi/Tanah, dan Peta Penutup Lahan. Melaluiproses overlay dan pengolahan data atributnya, gabungan peta tersebut akan menghasilkanPeta Bahaya Erosi. Dari sini dapat dilakukan zonasi bahaya erosi terhadap distribusi candi.

PENGKAJIAN
Perkembangan SIG dan Relevansi Arkeologis
Dewasa ini, SIG telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, yang dipicu oleh sedikitnya tiga hal (Suharyadi & Danoedoro 2004), yaitu perkembangan teknologi komputer dan sistem informasi; perkembangan metode analisis spasial dalam berbagaidisiplin ilmu, terutama ilmu geografi dan ilmu keruangan lainnya; serta perkembangankebutuhan aplikasi di berbagai bidang yang menuntut penanganan aspek-aspek keruangandan pemodelan berbasis komputer.
Pesatnya perkembangan SIG memberikan manfaat secara timbal-balik kepada masing masing komponen pelaku. Bagi para perancang/pemrogram, misalnya, kerangka pikir SIGmenuntut mereka untuk secara simultan mengembangkan skill dan konsep (pengetahuan)yang up to date dan multidimensional. Seorang operator sekalipun, tidak mungkin dapat mengoptimalkan pekerjaannya tanpa bekal konsep mengenai output pekerjaannya. Bagimereka, SIG adalah sebuah wahana dan sekaligus bentuk pembelajaran yang terstruktur.Sedangkan bagi para pengguna, SIG memberikan beberapa keuntungan di antaranyakemudahan, kecepatan, dan ketepatan dalam proses pengambilan keputusan; peningkatanpemahaman akan kondisi keruangan yang dihadapi; serta pengkayaan ide untukmengembangkan kajian (Yuwono 2004). Jadi tidak mengherankan jika perkembangan SIG akhirnya diikuti dengan perkembangan metodologi ilmu-ilmu di sekitarnya yang memilikibasis keruangan, termasuk arkeologi.
Di bidang arkeologi, SIG mulai dikembangkan sejak diadakannya pertemuan ilmiahSociety for American Archaeology di Amerika pada tahun 1985 yang bertemakan “SistemInformasi Geografis (SIG) berbasis komputer: alat masa depan untuk memecahkanproblema masa lalu” (Harris & Lock 1990 dalam Rangkuti 1996). Perannya di bidangarkeologi semula adalah dalam konteks Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi (PSA) yangbanyak menerapkan analisis lokasional. Dalam aplikasi ini, SIG banyak memberikanmasukan dalam proses pengambilan keputusan. Model prediksi yang dibangunmemungkinkannya untuk diaplikasikan sebagai perangkat klasifikasi, kalkulasi, kombinasi,dan visualisasi kenampakan variabel-variabel spasial. Dengan berbagai kelebihan tersebutsangatlah beralasan untuk menjadikan SIG sebagai perangkat manajemen data utamadalam kegiatan PSA (Judge & Sebastian 1988).Peluang pengembangan SIG dalam kegiatan-kegiatan penelitian arkeologi murni punsemakin terbuka, dan jauh lebih luas daripada sekedar untuk menghasilkan peta-petatematik. Salah satu kajian arkeologi yang menuntut pengaplikasian metode analisis spasialini adalah kajian Arkeologi Lansekap, yang di dalamnya tercakup pula analisis-analisisPola Pemukiman, Analisis Kewilayahan, dan model pendugaan situs.
 ARKEOLOGI  LANSEKAP
Istilah ‘lansekap’ secara umum memiliki makna yang hampir sama dengan istilah‘bentanglahan’, ‘fisiografi’, dan ‘lingkungan’. Perbedaan di antara ketiganya terletak padaaspek interpretasinya. Bentanglahan yang di dalamnya terdapat unit-unit bentuklahan(landforms) merupakan dasar lingkungan manusia dengan berbagai keseragaman(similaritas) maupun perbedaan (diversitas) unsur-unsurnya. Kondisi bentanglahan sepertiini memberikan gambaran fisiografis atas suatu wilayah. Wilayah yang mempunyaikarakteristik dalam hal bentuklahan, tanah, vegetasi, dan atribut (sifat) pengaruh manusia,yang secara kolektif ditunjukkan melalui kondisi fisiografi, dikenal sebagai suatu lansekap(Vink 1983).
Batasan lansekap di atas adalah batasan dalam arti luas. Secara lebih spesifik, lansekapdapat diartikan sebagai wilayah atau suatu luasan di permukaan bumi dengan delineasi(batas-batas) tertentu, yang ditunjukkan melalui suatu geotop atau kelompok geotop (yaitubagian geosfera yang relatif homogen dari segi bentuk dan prosesnya). Sebagai contoh,lansekap pegunungan struktural berbeda dengan lansekap dataran aluvial, daerah pesisir,perbukitan karst, daerah-daerah bentukan volkanik, fluvial, dan sebagainya. Batasan ini menekankan perlunya delineasi untuk memvisualisasikan suatu lansekap sebagai suatu unitspasial berdasarkan spesifikasi bentuklahan, vegetasi, dan ciri-ciri ubahan (artifisial)(Yuwono 2005).Sesuai dengan karakternya, suatu lansekap dapat menampilkan gambaran yang kompleks dengan sifat yang bervariasi menurut jangkauan ruang dan waktu (Gisiger 1996). Kendatidemikian, adanya dominasi unsur-unsur tertentu pada suatu lansekap akan mempermudahuntuk mengenali jenis-jenisnya, meliputi (dirangkum dari Bintarto 1991, Rangkuti, 1996, Yuwono 2005):
1)    Natural Landscape, yaitu bentanglahan alami sebagai fenomena/ perwujudan dimuka bumi, misalnya gunung dan laut. Kategori ini memiliki batasan yang palingumum, dan dapat disamakan dengan istilah “pemandangan” menurut terminology umum.
2)     Physical Landscape, yaitu bentanglahan yang masih didominasi unsur-unsur alam, yang diselang-seling oleh kenampakan budaya. Sistem kehidupan berikutkomponen alami dan nonalami terwadahi dalam bentanglahan ini.
3)     Social Landscape, bentanglahan dengan kenampakan fisik dan sosial yang bervariasi karena adanya heterogenitas adaptasi dan persebaran penduduk terhadaplingkungannya, misalnya kota dan desa dengan berbagai fasilitas individualmaupun publiknya. Selain mencerminkan pola adaptasi, bentanglahan ini jugamemvisualisasikan persepsi penduduk terhadap lingkungan sekitarnya. Dengandemikian, bentanglahan sosial merupakan zona-zona yang menggambarkan strukturkehidupan sosial-ekonomi penduduk.
4)     Economical Landscape, yaitu bentanglahan yang didominasi oleh bangunan beragam yang berorientasi ekonomis, seperti daerah industri, daerah perdagangan,daerah perkotaan, dan daerah perkebunan.
5)     Cultural Landscape, merupakan bangunan/unsur budaya dengan natural featurs sebagai latar belakangnya, misalnya daerah pemukiman dengan kelengkapan sawah, kebun, dan pekarangannya. Bentanglahan ini merupakan hasil interaksi antara manusia dengan wilayahnya.Meskipun kategorisasi di atas kadang-kadang sulit diamati secara tegas, namun secaraumum dapat dikemukakan bahwa visualisasi suatu lansekap dibentuk oleh dua hal pokok.Pertama, perpaduan antara karakteristik alami dan non-alami dari ruang di permukaanmaupun dekat permukaan bumi yang bersifat dinamis; Kedua, adanya hasil suatuperubahan berkesinambungan dari interaksi dinamis antar sfera, karena pada dasarnyabentanglahan merupakan ekspresi hubungan erat antar sfera dalam ruang dan waktutertentu (Yuwono 2005). Penekanan studi ini terletak pada manfaat suatu bentanglahan untuk manusia dan pengaruh positif–negatif manusia terhadap bentanglahan.

Pengertian Arkeologi Lansekap
Berpangkal pada peristilahan geografis mengenai lansekap di atas, maka arkeologipun memiliki kepentingan untuk melihat fenomena sebaran data/situsnya dalam kerangka pemahaman lansekap. Berkembangnya pendekatan arkeologi lansekap yang semakin marak akhir-akhir ini tanpa disadari telah memperkaya kompeksitas dari lansekap itu sendiri.
Arkeologi lansekap yang mula-mula berkembang di Eropa, dapat dianggap sebagai hasil perkembangan baru di bidang metodologi ilmu pengetahuan berkat upayanya menempatkan isu-isu pemukiman manusia dalam konteks bentanglahan fisiknya.Penerapan pendekatan ini memberikan banyak keuntungan, bukan hanya bagi arkeologi,melainkan juga bagi kajian geografi manusia, yang keduanya saling melengkapi. Di satu sisi, kajian geografi manusia banyak berurusan dengan cara-cara manusia mengeksploitasidan memodifikasi habitatnya, pola pemukiman, pasar dan jaringan komunikasi, serta kecenderungan-kecenderungan demografik. Bukti-bukti aktivitas manusia di dalam cakupan lansekap yang luas merupakan objek kajian bagi para ahli geografi manusia (Dennell 1987).
Di sisi lain, arkeologi lebih menitik beratkan penelitiannya pada wilayah-wilayah yang memiliki bukti-bukti budaya bendawi, antara lain melalui ekskavasi atau rekonstruksi ekologi. Dengan mendasarkan kepada pandangan geografi, arkeologi pun mulai memperluas kajiannya dari area-area yang terbatas ke dalam kajian pola adaptasi dan pemukiman pada skala regional. Bahkan, bukan hanya masalah pemukiman, ketersediaan sumberdaya alam dan pengaruh peningkatan populasi manusia terhadap fauna dan flora, yang menjadi kajian ekologi bentanglahan (Moran 1990), akhirnya tidak luput pula dari kajian arkeologi lansekap. Dengan mengamati sekurang-kurangnya dua komponen terkait, yaitu komponen fisik dan budaya, maka arkeologi lansekap dapat dikategorikan sebagai studi perbatasan yang mensinergikan aspek-aspek fisik dan budaya, serta inter-relasi di antara keduanya hingga membentuk fenomena bentang lahan masa lalu. Secara fisik, di sini diperlukan klasifikasi untuk menyederhanakan bentanglahan yang kompleks di permukaan bumi menjadi unit unit bentuklahan yang mempunyai kesamaan dalam hal sifat dan perwatakannya (Verstappen 1983; Dibyosaputro 1997). Bentuklahan, yang merupakan bagian dari permukaan bumi dengan kekhasan bentuk akibat proses dan struktur geologi selama periode perkembangannya, merupakan salah satu komponen bentanglahan yang perlu dikenali dan didelineasi. Verstappen (1983), telah mengelompokkan sembilan satuan bentuklahan berdasarkan genesanya (asal-usul), yaitu bentuklahan bentukan asal volkanik, struktural, denudasional, fluvial, marin, angin, pelarutan, grasial, dan aktivitas organisme. Masing-masing bentukan ini akan mengalami perkembangan seiring dengan waktu dan intensitas proses geomorfik yang mempengaruhi, sehingga stadium proses yang telah berlangsung, bahkan yang akan berlangsung dapat dikenali dan diprediksi.
 Selain bentuklahan, unsur-unsur fisik lain yang ikut membentuk suatu lansekap adalah tanah, air, dan vegetasi.Di sisi lain, arkeologi banyak berurusan dengan aspek-aspek budaya, baik yang bersifat teknologis, sosiologis, maupun ideologis. Interaksi dari aspek fisik dan budaya ini menentukan corak-corak morfologi, morfogenesa, morfokronologi, dan morfoasosiasi, yang berdampak pada kesesuaian fungsi ruang, kualitas ruang, bentuk adaptasi, evolusi budaya, proses transformasi, aksesibilitas, ketersediaan sumberdaya alam, dan sebagainya. Keterlibatan aspek budaya dalam membentuk suatu lansekap seringkali menimbulkan bentuk-bentuk anomali yang “menyimpang” dari sifat asli suatu bentuklahan. Gejala anomali yang dimaksud di antaranya adalah penyimpangan pada pola aliran sungai (pola drainase), pola kontur, pola kelurusan, pola penggunaan lahan (landuse), gejala perubahan muka airtanah, dan berbagai kenampakan fitur ubahan lainnya. Kunci utama untuk mengenali adanya anomali ini adalah mengetahui bagaimana pola alami yang seharusnya terbentuk pada suatu bentuklahan. Melalui berbagai penyimpangan bentuk inilah campurtangan manusia pada masa lalu dapat diketahui.
Dengan demikian, arkeologi lansekap mengandung pengertian sebagai cabang arkeologi yang menekankan kajian dan pendekatannya pada hubungan antara corak dan sebaran fenomena arkeologis dengan karakteristik perubahan bentanglahan/fisiografi sekitarnya.


 



















AIREGETASI
Gambaran di atas menekankan bahwa kajian arkeologi lansekap memerlukan ketersediaan bentuk-bentuk representasi spasial (peta, foto udara, dan atau citra satelit), baik dalam kedudukannya sebagai data, instrumen analisis, maupun hasil kajian. Karena suatu lansekap dibentuk oleh beberapa komponen, terutama bentuklahan, tanah, air, vegetasi,
dan berbagai bentuk pengaruh manusia, maka diperlukan peta dasar dan berbagai petatematik, termasuk struktur basisdatanya, agar dapat dilakukan analisis spasial. Bukanhanya untuk menghasilkan peta sebaran situs sebagaimana banyak dilakukan di Indonesiasaat ini, melainkan sebuah peta tematik-sintetik yang mampu menggambarkan danmenjelaskan fenomena lansekap sesuai dengan tujuan dan skala penelitiannya.Dari sisi keilmuan, tantangan berat dalam analisis arkeologi lansekap di Indonesia saat iniadalah bagaimana memvisualisasikan proses perubahan bentanglahan masa lalu akibatcampur tangan manusia; dan bagaimana perubahan bentanglahan mengontrol strategimanusia dalam beradaptasi dan bermukim. Melalui penerapan SIG, terbuka kemungkinanuntuk melakukan pemodelan-pemodelan spasial yang dapat mengatasi tantangan ini.

 ARKEOLOGI LANSEKAP DAN SIG
Salah satu contoh menarik mengenai penerapan SIG dalam kajian arkeologi lansekap telah dilakukan oleh Anne Gisiger dari Universitas Arkansas dalam thesisnya yang berjudul “A Spatial Analysis of Regional Human Adaptation Patterns Using Continental-Scale Data” (Gisiger 1996), dengan mengaplikasikan software Geographic Resources Analysis Support System (GRASS) GIS yang dikembangkan oleh the U.S. Army Construction Engineering Research Laboratories (CERL). Melalui analisis SIG berskala mega yang mengambil lokasi di kawasan Central Great Plains - Amerika, Gisiger berhasil merekonstruksi relasi spasial antara variabel-variabel lingkungan seperti pola aliran, distribusi elevasi, siklus pertumbuhan vegetasi dan rumput, perubahan temperatur rata-rata antara musim panas dan musim dingin, dan indeks kekeringan, dengan perubahan pola pemukiman dan pola adaptasi kelompok pemburu banteng liar dan kelompok hunter-gatherer-gardeners di Central Great Plains. Penelitian ini menerapkan metode overlay terhadap sejumlah peta tematik (di antaranya lihat peta 1,2,3), kemudian menganalisis hubungan spasial antar variabel pengamatan, melakukan pembobotan dan pengolahan spatial joint terhadap data atribut, serta pemodelan spasial secara time-series.
Aplikasi SIG lainnya dapat dilakukan pada kajian arkeologi lansekap skala meso,mencakup situs dengan karakter lingkungan sekitarnya. Salah satu contohnya dilakukan dikawasan Rush,Arkansas, oleh The Arkansas Archaeological Survey. Limp, misalnya, dengan menggunakan software GRASS GIS, meninjau ulang konsep antropologi tentangcakupan situs (catchment area). Kawasan Rush yang terletak di dekat Sungai Buffalo, adalah daerah lembah yang dikelilingi oleh tebing yang tinggi dan curam. Model sebelumnya, yang mendefinisikan catchment area sebagai wilayah konsentris dengan satu situs sebagai pusatnya, ternyata tidak sesuai lagi. Dalam upaya menghasilkan model yang lebih sesuai dengan kondisi medan setempat, Limp menerapkan sistem buffer untuk membuat beberapa tingkat area.
Hasilnya menunjukkan bahwa catchment area tidak berbentuk konsentris, melainkan memanjang mengikuti lembah sungai. Hasil korelasi antara catchment area dengan data vegetasi prasejarah menunjukkan bahwa komunitas prasejarah di lokasi tersebut banyak menggantungkan kehidupan mereka pada diet campuran hasil pertanian dan sumber makanan dari hutan (Gisiger 1996). Saat ini, penulis bersama tim ekskavasi Kanal Kuna Komplek Candi Plaosan 2005, sedang menyelesaikan pengolahan data spasial skala meso untuk melihat korelasi antara bangunan candi, kanal kuna, dan data hidrologi sebaran sumur kuna di sekitar Plaosan. Analisis juga dilakukan terhadap pola aliran sungai-sungai di sekitar Plaosan (berdasarkan Peta Rupa Bumi skala 1:25.000 dan Foto Udara skala 1:20.000), hasil-hasil ekskavasi, dan hasil survey geohidrologi pada tahun 2003. Beberapa analisis spasial yang dilakukan dengan software ArcView GIS dan ArcGIS, akan dipakai untuk menjawab permasalahan system paleohidrologi kanal Plaosan dalam kaitannya dengan kondisi lansekap sekitar dan sebaran sumur kuna yang secara tipologis memiliki beberapa bentuk dan ukuran. Contoh lainnya adalah kajian arkeologi lansekap skala makro, yang mencakup area kirakira seluas 100 – 1000 km2 (Delcourt & Delcourt 1988, dalam Gisiger 1996). Allen dan Hasenstab, misalnya, menerapkan skala spasial ini untuk menganalisis pola-pola okupasi prasejarah Iroquois, dan mengungkapkan bahwa komunitas Iroquoian memilih lokasilokasi desa mereka di daerah yang sesuai untuk budidaya jagung.
Selain memperhatikan sebaran situs dan unsur-unsur lansekapnya, mereka juga menganalisis variabel-variabel iklim dan mengolahnya dengan fasilitas SIG. Pada kasus lainnya, Allen mengaplikasikan program GIS ARC/Info yang berbasis vector untuk menganalisis sistem perdagangan yang berlangsung di jaringan sungai-sungai di bagian timur kawasan Great Lakes, antara pertengahan abad XVI – XVIII Masehi. Melalui pemodelan yang dilakukan, Allen berhasil menemukan lokasi-lokasi baru yang berperan dalam jaringan perdagangan masa itu. Ditemukan pula bukti-bukti arkeologis dan historis yang menunjukkan bahwa pada 1550, sejumlah komoditi dari Eropa sudah sampai ke pemukiman-pemukiman penduduk asli Amerika. The South Carolina of Archaeology and Antrhopology (SCIAA) bekerja sama dengan The Earth Sciences and Resources Institute of the University of South Carolina (ESRI-USC) menyuguhkan contoh lain yang cukup menarik. Proyek gabungan ini mengembangkan ‘predictive models’ untuk menemukan situs-situs arkeologi di Carolina Selatan melalui pemrograman SIG. Data yang diperlukan meliputi: a) linear hydrography (untuk memplot sumber-sumber air permanen), b) hypsography (untuk mengidentifikasi variasi topografi), dan c) floodplains (dataran banjir). Dengan menganalisis citra satelit, ortofoto digital, peta topografi, dan hasil pembuatan Digital Elevation Model (DEM), dapat ditemukan 78 situs (Clement 2003).
SIG juga membuka kemungkinan untuk menangani kasus-kasus antar waktu dalam arkeologi lansekap melalui pengembangan metode analisis data budaya secara luas. Johnson dan Wilson, mencontohkan pembuatan Electronic Cultural Atlas Initiative (ECAI), dengan software ArcView GIS dan ArcExplorer yang dioperasikan melalui jaringan internet. Isu-isu penting yang dikembangkan adalah perekaman time-based cultural features, pengembangan interface untuk mendisplai peta-peta berbasis waktu, dan pembuatan peta-peta animatif. Hasilnya berupa sekumpulan data sets, layer-layer peta, kriteria-kriteria terpilih, simbolisasi, dan berbagai kasus
spasial-temporal dari data budaya yang diakses (Johnson & Wilson 2003).
Banyak ahli sepakat bahwa pola-pola adaptasi manusia dipengaruhi oleh berbagai fenomena lingkungan dalam skala ruang dan waktu tertentu (Butzer 1987). Adaptasi terhadap kekeringan, misalnya, tidak dapat diidentifikasi melalui cakupan waktu pengamatan yang lebih pendek dibandingkan siklus kekeringan yang terjadi. Pada kasus lainnya, sumber (asal-usul) barang-barang perdagangan tidak dapat diidentifikasi jika jaringan perdagangan barang berlangsung pada skala keruangan yang lebih luas dibandingkan cakupan area yang dipelajari. Oleh karena itu, untuk menganalisis adaptasi manusia secara utuh di suatu bentanglahan diperlukan pendekatan pada skala keruangan dan waktu yang tepat. Di antara empat skala keruangan seperti diklasifikasikan oleh Delcourt and Delcourt (1988, dalam Gisiger 1996), yaitu skala mikro, meso, makro, dan mega, arkeologi lansekap lebih banyak berurusan dengan skala meso hingga mega. Maka diperlukan tingkat kedetilan peta dan tingkat resolusi spasial citra yang sesuai dengan masing-masing cakupan, sebab representasi masing-masing elemen pada peta dipengaruhi oleh skala.
Hal seperti ini di dalam kartografi berhubungan dengan generalisasi, yaitu upaya pemilihan dan penyederhanaan elemen-elemen peta, baik secara geometrik maupun konseptual. Generalisasi geometrik antara lain berupa pemilihan, penyederhanaan bentuk, penghilangan, eksagerasi atau pembesaran, dan pemindahan elemen akibat pembesaran. Sedangkan generalisasi konseptual berupa klasifikasi elemen-elemen tertentu, yang biasanya hanya diketahui oleh orang yang menguasai subjek yang akan dipetakan. Sebagai contoh, pada skala 1:50.000 terdapat 20 jenis tanah, jika diperkecil menjadi 1:100.000 harus dilakukan pengelompokan terhadap 20 jenis tanah tersebut sehingga jumlah jenisnya menjadi berkurang. Tidak ada skala peta topografi tunggal yang sesuai untuk semua tingkat pengamatan, demikian pula dalam penggunaan foto udara. Skala 1:2.500 – 1:10.000, sesuai untuk identifikasi rinci unsur vegetasi, landuse, dan kenampakan geomorfik mikro, tetapi terlalu besar untuk analisis geologi dan geomorfologi skala tinjau yang membutuhkan analisis relasi antar unsur dalam wilayah yang luas. Foto udara skala 1 :15.000 – 1:35.000, umumnya sesuai untuk mengamati perbedaan ketinggian dan beberapa kenampakan minor lansekap. Sedangkan skala yang lebih kecil dari 1:35.000, paling sesuai untuk mengamati pola-pola regional. Pola aliran, misalnya, yang secara tidak langsung mencerminkan kondisi topografi (tingkat kemiringan lahan), kondisi litologi, dan struktur geologi suatu wilayah, mudah didelineasi dengan foto udara skala tersebut (Zuidam, 1985).
Penggunaan citra satelit juga memberi banyak kemajuan bagi kajian arkeologi lansekap. Apalagi dengan tersedianya berbagai jenis sensor citra yang relatif mudah diakses. Seperti dalam penentuan skala peta dan foto udara, kesesuaian tingkat resolusi citra dengan cakupan wilayah kajian juga perlu dipertimbangkan. Pada skala kajian meso setingkat kota, misalnya, sebaiknya digunakan citra satelit Quickbird Pankromatik (resolusi spasial 0,61 m) atau IKONOS Pankromatik (resolusi 0,83 m), sedangkan citra Landsat MMS dengan resolusi spasial 80 m lebih sesuai untuk kajian tingkat regional (makro). Masih banyak produk penginderaan jauh lainnya yang dapat diaplikasikan, mulai dari Small Format Aerial Photography (SFAP) hingga citra-citra hiperspektral yang luwes untuk disesuaikan dengan tujuan pengamatan (Danoedoro, 2004).


 PENUTUP
Kemampuan SIG sebagai piranti analisis keruangan memungkinkan dihasilkannya informasi baru melalui pengolahan gabungan terhadap data spasial multitema yang berbeda format. Peta peta digital berbasis vektor, produk-produk penginderaan jauh berbasis raster, dan data lokasi dari GPS reciever, tidak lagi mengalami hambatan untuk dianalisis bersama berkat tersedianya berbagai fasilitas GIS. Kondisi ini membuka peluang untuk meneruskan proyek-proyek penelitian yang sudah ada, sebagai suatu tantangan awal. Simak saja disertasi Mundardjito (1993) yang sudah mengakses data ratusan situs masa Klasik di wilayah Yogyakarta, termasuk di sekitar Prambanan. Keberhasilan analisis ekologis yang dicapainya, akan kian menarik dan membuka prospek kajian baru jika dikembangkan ke arah pemodelan-pemodelan spasial. Misalnya untuk memvisualisasikan kondisi palaeo-landscape Yogyakarta dan Prambanan pada masa Klasik secara time series. Dari visualisasi tersebut akan banyak informasi baru yang tidak mungkin diperoleh secara manual.
Piranti Network Analyst dalam program ArcView GIS dan ArcGIS, misalnya, memungkinkan untuk memvisualisasikan jaringan transportasi masa itu; juga jaringan irigasi dan sanitasi kuna; hubungan antara aksesibilitas jalan – hieraki candi – dan keletakan klaster-klaster pemukiman kuna; atau bahkan untuk menjawab isu kebencanaan (“maha pralaya”) yang masih menjadi polemik hingga kini. Setidaknya untuk mengetahui bagian lansekap mana yang waktu itu paling parah diterjang lahar Merapi. Tidak tertutup pula kemungkinan untuk mengembangkan “Analisis Kesesuaian Lahan Masa Klasik”, topic kontemporer yang sekarang ini paling banyak mengeksplor kemampuan SIG.


 DAFTAR PUSTAKA
Bintarto, R., 1991, “Geografi Manusia: Teori, Tema, dan Metodologi Penelitian”, dalam Seminar Aplikasi Penelitian Geografi untuk Perencanaan Pengembangan Wilayah, Fakultas Geografi, UGM.
Butzer, K. W. 1987 Archaeology as Human Ecology: Method and Theory for a Contextual
Approach. Cambridge University Press, Cambridge.
Clement, Christopher Ohm, Sahadeb De, Robin Wilson Kloot, 2003, Using GIS to Model
and Predict Likely Archaeological Sites, Sumber:
Http://gis.esri.com/library/userconf/proc01/professional/papers/pap651/p651.htm
; 10 April 2003.
Danoedoro, Projo (ed.), Sains Informasi Geografis: Dari Perolehan dan Analisis Citra
hingga Pemetaan dan Pemodelan Spasial, Jurusan Kartografi dan Penginderaan
Jauh Fak. Geografi UGM, Yogyakarta.
Dennell, R. W., 1987, “Geography and Prehistoric Subsistence”, dalam J. M. Wagstaff
(ed), Landscape and Culture: Geographical and Archaeological Perspectives,.
Dibyosaputro, Suprapto, 1997, Geomorfologi Dasar, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta.
Gisiger, Anne, 1996, “A Spatial Analysis of Regional Human Adaptation Patterns Using
Continental-Scale Data”, Thesis, revised version, University of Arkansas.


NILAI –NILAI TUTURAN SU’I UWI DAN O’ UWI PADA PESTA ADAT REBA DI KABUPATEN NGADA

NILAI –NILAI  TUTURAN SU’I UWI DAN O’ UWI PADA PESTA ADAT REBA DI KABUPATEN NGADA
Oleh :
Lukas Yakobus Gue Ea * )
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Nusa Cendana
Kupang


Abstrak
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui kebudayaan kabupaten ngada dalam hal upacara adat reba yang didalamnya memuat nilai nilai tuturan su’I uwi dan o’ uwi yang dilihat dari latar belakang kebudayaan ngada yaitu system kepercayaan “dewa zeta nitu zale” allah-sang ilahi serta aspek lain yang melekat dalam kebudayaan kabupaten ngada yaitu kekerabatan, filosofi kekudusan luhur,serta nilai yang terkandung dalam tuturan su’I uwi dan o’uwi pada pesta adat reba dan juga proses jalannya penuturan.
Kata kunci : nilai-nilai tuturan, su’I uwi, o’uwi, reba


K
ebudayaan pada hakikatnya merupakan wujud dari upaya manusia dalam menanggapi lingkungan secara aktif. Kemampuan manusia dalam menanggapi lingkungannya secara aktif itu dimungkinkan karena kemampuan dan kebersihan manusia dalam menggunakan lambang-lambang yang diberi makna dan arti secara sistematis, sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai sarana komunikasi dan interaktif secara efektif. Hal ini menunjukan bahwa kebudayaan bersifat dinamis, dimana kebudayaan akan berkembang dimana masyarakat pendukungnya masih ada.
Berbagai kebudayaan yang ada di Indonesia menimbulkan suku bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang masing-masing memiliki kekhasan tersendiri. Tuturan lisan merupakan salah satu jenis penyebaran warisan budaya nenek moyang yang masih digemari oleh masyarakat pendukungnya, sebagaimana halnya masyarakat Kabupaten Ngada. Sebagai warisan budaya nenek moyang, sastra lisan Ngada mengandung nilai-nilai budaya masyarakat Ngada sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
Dalam kedudukannya sebagai budaya daerah, budaya Ngada mengandung suatu nilai luhur yang dianut oleh pendukung adat daerah tersebut.  Nilai-nilai itu perlu diangkat ke permukaan agar maknanya dapat diketahui oleh masyarakat. Pengangkatan nilai-nilai budaya daerah ini bermaksud memperlihatkan kepada masyarakat bahwa karya budaya bisa memberikan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang manusia, bangsa, dan kehidupan. tuturan lisan Su’i Uwi dan O’ Uwi, dalam upacara Reba belum pernah dilaksanakan, maka penulisan ini perlu dilaksanakan sebagai salah satu usaha pelestarian budaya daerah Ngada serta melindungi eksistensinya dari kemungkinan terjadi kepunahan akibat pergeseran tata nilai budaya masyarakat pemiliknya. Hal ini dapat terjadi, mengingat masyarakat Ngada tidak mengenal atau mempunyai otografi daerah seperti Jawa, Bali, Bugis.
Tuturan lisan Su’I Uwi dan O’ Uwi dalam pesta adat Reba ini, mengisahkan tentang asal mula orang Ngada mulai dari saylon sampai tanah Jawa, kemudian menuju Sumba, dan berakhir di Ngada. Orang pertama yang ada di Ngada dari proses pelayaran yang panjang ini adalah Teru dan Tena yang melahirkan seorang anak  bernama Sili. Tokoh Sili inilah yang selalu dikenang dalam upacara Reba karena kesuksesannya dalam menanam ubi (diskorea alata)  yang pada saat itu merupakan makanan utama. Keberhasilannya itu tidak diperoleh dengan begitu saja, tetapi melewati proses yang panjang dan keharusan membagi dengan orang lain. Mengingat Reba ini adalah sebuah mite, maka cerita tentang tokoh Sili ini dianggap suci oleh masyarakat pemiliknya yang perlu  dijaga kelestariannya dari pengaruh IPTEK. Bukti-bukti yang memperkuat cerita ini masih ada, dan upacara ritualnya masih dijalankan, karena Mite Reba ini sangat berkaitan erat dengan keberadaan masyarakat dan perkembangan manusia. Dalam tulisan ini, penulis hanya memfokuskan pada analisis makna tuturan lisan Su’i Uwi dan O’ Uwi serta melihat penerimaan dalam masyarakat.
Terdorong oleh kondisi di atas, serta adanya upaya dan keinginan penulis untuk mendokumentasikan dan melestarikan nilai budaya khususnya tuturan lisan Su’i Uwi dan O’ Uwi sebagai warisan budaya, maka penulisan ini perlu dilakukan untuk menjaga eksistensi tuturan lisan Su’i Uwi dan O’ Uwi sebagai upaya kearah tidak terjadinya kepunahan. Oleh karena itu, analisis resepsi terhadap tuturan lisan Su’I Uwi dan O’ Uwi di dalam Reba sangat diperlukan dalam melihat transformasi nilai budaya dari generasi tua ke generasi muda.
(Djawamaku, 2000:3) mengemukakan bahwa kata Reba mempuyai beberapa arti yaitu
a.       Menunjuk kepada sejenis pohon yang disebut Kaju Reba;
b.      Menujuk kepada pesta adat Reba yang juga disebut Reba Uwi, Buku Reba atau Gua Reba;
c.       Menunjuk kepada larangan memetik kelapa disebut Reba Nio atau larangan untuk mengambil bambu Reba Bheto; dan
d.      Menunjuk kepada kejadian yang tiba-tiba muncul: moe uza reba leza.

Dari empat pengertian di atas, maka tulisan ini lebih mengacu kepada pengertian yang kedua yaitu pesta adat Reba, khususnya tuturan Su’i Uwi dan O’ Uwi,



LATAR BELAKANG BUDAYA MASYARAKAT NGADA
Sistem Kepercayaan “Dewa Zeta Nitu Zale - Allah - Sang Allah
Dewa Zeta Nitu Zale terdiri atas empat kata yang mempunyai arti tersendiri secara terpisah. Namun jika disatukan mengandung suatu pemahaman yang tak terpisahkan dan diucapkan sebagai suatu kesatuan.
Dasar, sumber asalnya yang tepat berada di atas yang disebutnya Zeta - di atas, di ketinggian yang menunjukkan tempat yang tinggi, tempat yang agung atau keagungan. Tangggapan di atas berdasarkan pada pengalaman manusia seperti hujan dari atas. Namun sampai dimana tingginya, hanya diukur dengan kemampuan pandangan mata manusia yang memandang di atas, ke langit. Orang Ngada memahami  Dewa sebagai salah satu dasar atau sunber yang tepat dan transparan, terselubung di balik penglihatan mata biasa manusia - (dele nidi wigo kawi - kao - terhalang sarang  laba - laba ) berada di atas, di tempat yang tinggi.
Dewa itu sebagai pribadi yang memiliki kekuatan yang melampaui kekuatan manusia yang bersemayam di tempat yang tinggi. Dengan demikian, Dewa disinonimkan dengan Allah, kehadiran Allah dalam pengertian agama modern yakni pribadi yang mempunyai kekuatan maha dashyat yang melampaui kekuatan manusia.
Nitu Zale (Zale ulu nitu)
Nitu (ulunitu) kekuatan di bawah tanah (bumi), kekuatan yang memperhatikan dengan sungguh. Nitu dipahami dan didefenisikan atau sebagai satu pribadi yang penuh perhatian, penuh kasih sayang yang memperhatikan suka dan duka manusia. Pemahaman ini lebih bersifat manusiawi dan lebih akrab dengan manusia walaupun tidak kelihatan. Yang paling dekat dengan manusia adalah tanah atau bumi. Maka Nitu adalah satu pribadi yang tinggal di tempat yang dalam, yang disebut Zale Ulu Nitu. Pribadi yang memiliki satu kekuatan yang tidak terbatas yang tidak kelihatan yang tidak dapat dilihat dengan mata biasa, namun penuh perhatian. Zale- di bawah , ke bawah arahnya dari keberadaan manusia daaan kedalamannya sampai dimana tidak disebutkan. Zale tana- ke bawah tanah, zale one tana - di dalam tanah. Bila dihubungkan dengan ulu nitu, misalnya zale one tana, sai zale ulu nitu - di dasar yang paling dalam.
Perbandingan itu dikenalkan pula pada seseorang yang telah lanjut usia yang disebutkan - ana ngata go nitu - seorang yang sudah memiliki kekuatan yang sudah teruji atau magis atau dikenakan pula pada sebatang pohon beringin yang sudah tua, yang disebut da nitu di’ igha atau ne’egha go nitu - telah didiami oleh kekuatan atau kekuasaan yang luar biasa.
Jadi, Nitu dipersonifikasikan dengan satu pribadi yang memiliki satu kekuatan yang luar biasa yang mempengaruhi jalan hidup manusia. Oleh orang Ngada, Nitu Zale senantiasa dihubungkan dengan Dewa sehingga menjadi Dewa Zeta Nitu Zale. Salah satu aspek keilahian Allah, penyelenggaraan ilahi, yang mengantar manusia ke tujuan hidupnya.
Dewa Zeta Nitu Zale merupakan kekuatan dasar yang mendasari moralitas hidup orang Ngada. Karena itu Dewa Zeta Nitu Zale bukan Dewa Zeta Nee Nitu Zale. Jadi Dewa Zeta Nitu Zale merupakan ungkapan kekuatan yang menyatu, Satu kekuatan yang berpribadi yang menyelenggarakan hidup manusia. Satu pribadi yang sempurna. Pemahaman ini memudahkan orang Ngada untuk menerima dan mengakui Allah sebagai pencipta dan penguasa langit dan bumi serta Allah yang maha pengasih dan penyayang yang menyelenggarakan hidup dengan kasih kebapaan dan keibuan yang paling sempurna.
Masyarakat Ngada masih mengenal stratifikasi atau kasta (rang) yang paralel dengan kasta pada masyarakat India (Arndt, terjemahan Lege, 1984). Di Flores gejala lapisan rang ini hanya terdapat di Ngada. Pelapisan sosial yang teratas disebut Ga’e Meze yang memiliki hak-hak khusus dalam persekutuan adat, mengambil bagian pokok dalam upacara termasuk pada wanitanya yang mengepalai pengaturan kebijaksanaan pokok dalam urusan konsumsi.
Pada perayaan korban yang besar dan umum seorang Ga’e Meze harus duduk pada kebha hui (tempat korban dengan daging-daging korban). Korban harus dilaksanakan oleh seorang Ga’e Meze dengan sembelihan khayalan pertama. Dalam perang, korban-korban diberi  sembelihan khayalan pertama oleh seorang Ga’e Meze, sesudah itu hewan korban baru boleh disembelih oleh pemiliknya sendiri. Pada waktu pertempuran mereka menggunakan senjata-senjata yang berkekuatan gaib dan kain penggendong anak sebagai jaminan perlindungan yang lebih aman.
Ga’e Meze itu dibandingkan dengan pohon beringin seperti pohon ara yang keramat bagi orang India yang menaungi dan mekindungi golongan-golongan yang lebih rendah. Mereka juga dibandingkan dengan langit dan matahari. Mereka berfungsi sebagi manusia-manusia yang magis, sebagai orang-orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan atas manusia, yang melalui penyinarannya mereka dapat menguntungkan atau merugikan. Pada proses pembuatan tiap korban dan batu korban yang tinggi di kampung, pada waktu menggotongnya (Bhei Ngadhu) hanya Ga’e Meze-nya harus berdiri di atasnya, dan dipikul bersama dengan tiang korban dan batu korban ke kampung.
Dengan demikian keistimewaan religius dari Brahmana (kasta yang palig tinggi di India) beralih juga pada anggota lapisan ruang yang paling atas di Ngada yaitu Ga’e Meze. Golongan kedua adalah Ga’e Kisa yang bersama-sama dengan Ga’e Meze membentuk golongan atas.
Ga’e Meze merupakan golongan atas yang paling tinggi, sedangkan Ga’e Kisa membentuk golongan atas yang paling rendah. Bersama-sama dengan Ga’e Meze mereka memerintah. Terhadap Ga’e Meze, mereka dibandingkan seperti kayu yang lebih rendah mutunya atau seperti kayu-kayu biasa dengan pohon beringin. Mereka adalah bulan sedangkan Ga’e Meze adalah matahari. Pada waktu perang mereka membentuk sebahagian besar bala pertahanan.
Golongan ketiga berlawanan dengan kedua golongan ini, seperi Wai Sya berlawanan dengan golongan Brahmana dan Ksatrya. Mereka adalah golongan rakyat yang hina. Mereka adalah anggota klan asli, mereka bebas dan memiliki harta benda seperti Ga’e dan Kisa, tetapi mereka berada jauh di bawah dari kedua golongan itu. Mereka tidak mempunyai hal kuasa dalam pemerintahan, mereka harus diam dalam perkumpulan umum. Nama mereka berarti pelayan hamba meski hamba tanpa tuan yang memiliki mereka.
Orang  menyebut golongan ini Ho’o Feo (tak berarti seperti buah kemiri) Ho’o Heo (yang harus mengerik tulang-tulang daging ), Ho’o Roro (yang harus duduk di sebelah kiri rumah dekat pintu), Ho’o Wena Naja (yang nilainya sama dengan pelupu, diatas orang duduk dan berjalan).
Sebagai golongan yang keempat adalah hamba yang sesungguhnya sering mereka adalah bangsa asing, taklukan perang, orang-orang yang dibeli dan keturunannya, seperti golongan Sudra yang adalah orang asing bagi orang Aria.
Kaum lelaki dari lapisan rang yang lebih rendah tidak boleh memperisteri atau menjamah perempuan dari lapisan di atasnya. Pelanggaran hukum ini biasanya menyebabkan lelakinya di hukum mati dan perempuannya diturunkan dari lapisan rang, dikeluarkan dan diusir dari rumah dan kampung serta sanak keluarganya. Anggota dari lapisan rang yang lebih rendah segera melarikan diri ketika mendengar salah seorang dari lapisan rang-nya telah ditangkap, diikat dan dibawa ke dalam kampung sebagai pendosa yang melanggar hukum perkawinan. Mereka menyembunyikan diri di dalam rumah, karena mereka tidak boleh melihat bagaimana terdakwa dihukum mati. Mereka juga takut ketularan kesalahan yang sama.
Orang-orang yang telah disingkirkan dari masyarakat karena melanggar hukum perkawinan ini dilarang untuk turut serta pada pesta korban dan perjamuan korban umum atau sekurang-kurangnya mereka hanya dibiarkan sebagai penonton dari kejauhan. Orang tidak menuntut sumbangan dari pesta mereka, baik beras maupun hewan sembelihan.
Kalaupun mereka membawa seekor kerbau atau seekor babi, maka hal itu harus dimaklumkan dan menabuh gong dan gendang mulai dari pintu masuk kampung ke dalam kampung dimana banyak peserta pesta telah berkumpul, bahwa ‘yang berbahaya’ akan datang, supaya mereka bersiap siaga. Mereka ini tidak boleh berada dekat hewan-hewan atau bahan-bahan korban yang lain dan telah ada lebih dahulu untuk menjaga kesucian bahan korban.
Nasi dan daging dari hewan korban mereka tidak boleh dicampur dengan nasi dan daging dari hewan korban orang lain yang bersih. Karena tidak kalau tidak nasi dan daging akan susut dan tidak cukup lagi bagi peserta pesta, meskipun segalanya telah tersedia secara berlimpah. Hanya kaum lelaki dari lapisan Ga’e Meze yang boleh makan daging korban mereka. Daging yang sisa tidak boleh disimpan, semuanya harus dibuang.
Biasanya hal yang paling buruk dari orang Ngada adalah kematian yang mengerikan dan siksaan kejam lainnya terhadap orang yang bersalah. Disini Dewa menunjukkan kedashyatanya.
Karena itu dapat masuk akal jawaban pemuda lapisan rang bawah yang dituduh berzinah dengan seorang gadis dari lapisan rang atas. Jao Da Ghia Sili, Jao Da Ghia Rae, Jao Da Ghia Siwa (saya takut Sili, Rae, Siwa)
Setiap lapisan rang diwarisi melalui kelahiran (turun-temurun). Tak seorangpun dari lapisan rang bawah bias naik menjadi anggota dari lapisan rang atas.
Situasi dan Proses Penuturan
Penuturan Su’i Uwi dan O’ Uwi berlangsung pada malam hari sekitar pukul 20.00. seluruh anggota klen dari suatu rumah adat berkumpul untuk mendengarkan ungkapan dari ketua adat. Para   wanita tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam rumah, sedangkan yang laki-laki, baik yang tua ataupun yang masih muda bahkan anak-anak diharuskan untuk masuk ke dalam rumah.
Sebelum penuturan dimulai, ketua adat memberikan peringatan kepada para warga agar menyiapkan diri dengan baik dan mempersilahkan para warga untuk membuang air dan makan sirih, karena selama proses penuturan berlangsung, semua warga harus mendengar dengan penuh hikmat dan tidak diperbolehkan untuk keluar atau membuat sesuatu hal yang lain selain mendengarkan tuturan. Bila ada yang melanggar aturan ini maka orang tersebut akan sakit, dan juga akan terjadi musibah kelaparan.
Penuturan Su’i Uwi dan O’ Uwi berlangsung dalam keadaan duduk bersila. Sang ketua adat/penutur memakai pakaian adat, sedangkan para warga, tidak diharuskan memakai pakaian adat, kecuali untuk tuturan O’ Uwi, para penutur dan warga diharuskan memakai pakaian adat, karena setelah itu, para warga/pendengar diharuskan menari, dan tarian yang ditarikan adalah O’ Uwi.
Dalam melakukan tarian ini, perempuan memegang tuba (alat yang dibuat dari bambu aur/kayu yang dipasang dengan bulu ayam atau bulu kuda) di tangan kanan dan sapu tangan atau bulu ayam di sebelah kiri. Tarian ini dilakukan dalam bentuk lingkaran, dan siapa yang hendak bersyair diharuskan maju ke tengah lingkaran dalam bentuk kelompok (2-4 orang). Proses ini dilakukan secara bergantian oleh laki-laki dan perempuan.
Alat dan perlengkapan yang digunakan dalam proses penuturan ini adalah:
1.      Tanaman ubi yang lengkap dengan batang, daun, buah, dan akar (ubi rambat)
2.      Pisau adat (Sau Ga’e)
3.      Buah pinang yang lengkap dengan kelopaknya
4.      Daun sirih
5.      Batang bambu kecil (aur)
6.      Moke yang dituangkan dalam tempurung kelapa yang sudah dibersihkan.
Ubi yang telah disiapkan, akan dipotong-potong, selama proses penuturan berlangsung. Pemotongan ini dilakukan pada saat sang penutur menyebutkan setiap daerah yang disinggahi para leluhur, sehingga potongan-potongan ubi ini mewakili setiap daerah persinggahan. Pisau digunakan untuk memotong ubi. Pisaui ini hanya khusus dipakai untuk memotong ubi dan tidak boleh untuk memotong sembarang benda. Buah pinang, dikunyah bersama daun sirih dan ditaburkan pada daun ubi. Batang bambu digunakan sebagai penolak bala. Bila ada yang sakit pada saat itu, maka ketua adat akan menggosokkan batang bambu itu, dan secara ajaib, orang yang sakit itu sembuh dengan seketika, sedangkan moke adalah minuman khas daerah sehingga pada setiap upacara adat, moke harus selalu ada.
 Nilai nilai yang terkandung dalam tuturan su’i uwi dan o’ uwi pada pesta adat reba
1. Nilai Sosial
Nilai yang paling banyak terdapat dalam upacara Reba menurut Lipus Nanga (66 tahun), adalah nilai sosial, karena nilai ini melekat pada upacara itu sendiri, sejak permulaan hingga selesai. Karena untuk menyukseskan upacara ini, tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh satu orang saja, materi yang diperlukan berupa hewan dan binatang sangat banyak, sehingga secara tidak langsung mengajarkan kepada kita agar saling mendukung dan membantu. Selain itu, dalam upacara ini juga, terutama paada hari terakhir para anggota klen yang berselisih paham diharuskan berdamai. Siapa yang melanggar akan mendapatkan malapetaka seperti:
a.       Mati golo (meninggal tidak wajar, seperti meninggal karena jatuh dari pohon, mati tenggelam, mati dibunuh orang, dan lain sebagainya).
b.      Senu (sinting/gila)
c.       Kelaparan melanda kampung.
2. Nilai Ketabahan dan Harapan
Menurut Yoseph Mude (77 tahun) nilai ini tersirat dari kisah perjalanan para leluhur yang dengan tabah menjelajajahi hutan dan lembah serta sabar mengarungi lautan luas. Kesabaran dan ketabahan inilah yang membawa mereka ke tempat yang dituju yaitu Ngada. Lebih lanjut dikatakan bahwa kesabaran, ketabahan dan harapan ini selalu hadir bersama dalam diri orang yang ingin berhasil. Tidak mungkin orang mau berharap banyak atau mengahrapkan sesuatu kalau dia sendiri tidak sabar dan tabah dalam menjalani hidup, demikian pula sebaliknya tidak mungkin orang bias sabar dan tabah kalau di sendiri tidak mempunyai harapan.
3. Nilai Magis
Nilai ini, tertuang dalam proses upacara yang berlangsung hikmat. Para peserta upacara dengan tenang mengikuti proses ini, sehingga suasana hening ini menyebabkan tuturan yang dituturkan oleh ketua adat semakin mendengung di dalam hati para pendengar. Lantunan syair yang diungkapkan dengan irama yang merdu membuat tuturan ini hadir bagaikan mantra yang dapat membawa para pendengar ke dalam suasana kegaiban.
Selain itu, kegaiban ini juga tercipta karena banyaknya larangan kepada para peserta sebelum upacara atau proses penuturan itu dimulai yang juga disertai dengan pemberitahuan akibat yang ditimbulkan bila ada yang melanggar. Hal ini diungkapkan oleh Lipus Lusi (73 tahun). Lebih lanjut dikatakan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap mite masih sangat kuat, dan mereka percaya bahwa roh nenek moyang, selain dapat membantu manusia yang masih hidup, juga dapat mencelakakannya apabila yang diperbuatnya tidak berkenan di hadapan para leluhur.
4. Nilai Kepemimpinan
Nilai ini menurut Laurensius Watu (68 tahun) dari keberhasilan para leluhur dalam tuturan Su’i Uwi yang berhasil menjelajahi hutan dan lembah serta mengarungi samudera luas. Hal ini tidak mungkin terwujud bila tidak dipimpin oleh seorang pemimpin yang bijaksana. Perjalanan yang begitu jauh, serta waktu yang cukup lama kadang membuat manusia jenuh dan bersifat egois, sehingga kepentingan salah seorang dapat menghambat perjalanan bahkan mungkin gagal. Dalam tuturan Su’i Uwi dikatakan bahwa kedatangan para leluhur di Ngada bukanlah secara kebetulan atau dengan kata lain kesasar, tetapi hal ini sudah direncanakan. Sebelum sampai ke Ngada mereka sempat singgah di beberapa daerah yaitu di Selo/Ceilon, Sina/Cina, Jawa, Raba/Bima, Wio/Sumba, Roja/Ruteng, kemudian baru tiba di Ngada.
Mengingat banyaknya daerah persinggahan (daerah yang dikunjungi), sebelum tiba di Ngada, maka tidak diragukan lagi bahwa tempat yang mereka tuju bukanlah Cina, Ceilon, Jawa, Bima, Sumba, dan Ruteng, melainkan Ngada. Dan untuk sampai di tempat ini diperlukan seorang pemimpin di dalam perjalanan.
5. Nilai Historis
Nilai ini terungkap tuturan Su’i Uwi, di mana semua isi tuturannya mengisahkan perjalanan para leluhur dari tempat yang jauh menyusuri hutan dan lembah kemudian tiba di daerah bernama Selo dan berlayar kea rah timur dan menyinggahi Jawa, Raba, Sumba, Ruteng, dan kemudian bermukim di Ngada.
Hal ini menurut Yohanis Nua (28 tahun) merupakan suatu peristiwa sejarah yang paling hidup di dalam ingatannya, dan membawa imajinasinya untuk melanglang buana, karena menurutnya sangat kontras dengan keadaan sekarang ini, dimana orang Ngada tidak banyak yang menjadi pelaut, dan bahkan lebih dari 75% penduduknya tidak bias berenang, dan lebih lanjut dikatakan bahwa faktor tidak bisa berenang inilah yang menjadi penyebab utama orang Ngada tidak mau menjadi pelaut seperti para leluhurnya.
6.   Nilai Perdamaian
Nilai ini menurut Robert Du’e, terdapat pada akhir upacara yang mengharuskan mereka yang bertikai untuk berdamai. Mereka yang bersalah harus meminta maaf dan mengakui kesalannya, dan hal ini masih sangat kuat pengaruhnya terhadap masyarakat Ngada, karena mereka percaya bahwa pada saat itu, roh para leluhur hadir di tengah-tengah mereka dan melihat apa yang mereka lakukan. Hal inilah yang membuat masyarakat Ngada memanfaatkan situasi ini untuk berkumpul kembali dengan sanak saudara dan meluruskan kembali tali persudaraan yang pernah putus.



7.   Nilai Moral/Ajaran Hidup
Nilai moral ini menurut Darius Logo (30 tahun) sebenarnya tertuang dalam semua proses pelaksanaan upacara. Keharusan untuk melakukan upacara Reba ini setiap tahun, secara tidak lengsung mengingatkan kita agar tidak boleh melupakan tanah kelahiran kita, tidak boleh melupakan sanak saudara, dan untuk membina persaudaran itu, kita perlu berkumpul bersama-sama dan duduk bertukar pikiran. Selain itu, lewat tuturan O’Uwi, kita dapat mengetahui bahwa tanaman uwi, pernah menjadi tanaman penopang hidup manusia.
Pada saat sekarang ini, dimana beras sudah menjadi makanan pokok manusia, uwi/ubi bukanlah sesuatu yang penting bagi kita. Namun dengan tuturan ini, kita diajak untuk rendah hati, tidak boleh sombong, dan berbagi dengan sesame, sebagaimana Sili membagi-bagikannya secar Cuma-Cuma kepada orang yang memerlukan. Diharapkan, kita juga sebagai turunannya dapat berbuat hal yang sama kepada orang lain.











Simpulan
Berdasarkan hasil penulisan diatas dapat disimpulkan bahwa:
Nilai-nilai budaya yang ada dalam tutur Su’i Uwi dan O’Uwi pada upacara reba ada tujuh yaitu:
a.       Nilai Sosial
b.      Nilai Ketabahan dan harapan
c.       Nilai Magis
d.      Nilai Kepemimpinan
e.       Nilai Historis
f.        Nilai Perdamaian
g.       Nilai Moral atau ajaran hidup
Saran
1.    Mengingat upacara Reba ini merupakan suatu budaya yang memegang peranan   penting dalam tradisi orang Ngada, maka perlu dijaga dan dilestarikan sehingga nilai-nilai yang menjadi inti ajaran ini tidak punah.
2.      Tuturan Su’i Uwi dan O’Uwi perlu disusun dalam sebuah buku yang dapat dijadikan bahan pengajaran muatan lokal di sekolah-sekolah terutama pendidikan dasar, sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah tertanam sejak dini.
3.      Peran serta pemerintah dalam melaksanakan budaya daerah, juga sangat diharapkan, mengingat aspek budaya selama ini, cukup potensial untuk dijadikan aspek pariwisata, namun dalam pengelolaannya, pemerintah seringkali terlalu mencampuri sehingga hal-hal yang sifatnya sangat sakral menjadi punah dan sering terabaikan.