Entri Populer

Sabtu, 30 Oktober 2010

NILAI –NILAI TUTURAN SU’I UWI DAN O’ UWI PADA PESTA ADAT REBA DI KABUPATEN NGADA

NILAI –NILAI  TUTURAN SU’I UWI DAN O’ UWI PADA PESTA ADAT REBA DI KABUPATEN NGADA
Oleh :
Lukas Yakobus Gue Ea * )
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Nusa Cendana
Kupang


Abstrak
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui kebudayaan kabupaten ngada dalam hal upacara adat reba yang didalamnya memuat nilai nilai tuturan su’I uwi dan o’ uwi yang dilihat dari latar belakang kebudayaan ngada yaitu system kepercayaan “dewa zeta nitu zale” allah-sang ilahi serta aspek lain yang melekat dalam kebudayaan kabupaten ngada yaitu kekerabatan, filosofi kekudusan luhur,serta nilai yang terkandung dalam tuturan su’I uwi dan o’uwi pada pesta adat reba dan juga proses jalannya penuturan.
Kata kunci : nilai-nilai tuturan, su’I uwi, o’uwi, reba


K
ebudayaan pada hakikatnya merupakan wujud dari upaya manusia dalam menanggapi lingkungan secara aktif. Kemampuan manusia dalam menanggapi lingkungannya secara aktif itu dimungkinkan karena kemampuan dan kebersihan manusia dalam menggunakan lambang-lambang yang diberi makna dan arti secara sistematis, sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai sarana komunikasi dan interaktif secara efektif. Hal ini menunjukan bahwa kebudayaan bersifat dinamis, dimana kebudayaan akan berkembang dimana masyarakat pendukungnya masih ada.
Berbagai kebudayaan yang ada di Indonesia menimbulkan suku bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang masing-masing memiliki kekhasan tersendiri. Tuturan lisan merupakan salah satu jenis penyebaran warisan budaya nenek moyang yang masih digemari oleh masyarakat pendukungnya, sebagaimana halnya masyarakat Kabupaten Ngada. Sebagai warisan budaya nenek moyang, sastra lisan Ngada mengandung nilai-nilai budaya masyarakat Ngada sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
Dalam kedudukannya sebagai budaya daerah, budaya Ngada mengandung suatu nilai luhur yang dianut oleh pendukung adat daerah tersebut.  Nilai-nilai itu perlu diangkat ke permukaan agar maknanya dapat diketahui oleh masyarakat. Pengangkatan nilai-nilai budaya daerah ini bermaksud memperlihatkan kepada masyarakat bahwa karya budaya bisa memberikan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang manusia, bangsa, dan kehidupan. tuturan lisan Su’i Uwi dan O’ Uwi, dalam upacara Reba belum pernah dilaksanakan, maka penulisan ini perlu dilaksanakan sebagai salah satu usaha pelestarian budaya daerah Ngada serta melindungi eksistensinya dari kemungkinan terjadi kepunahan akibat pergeseran tata nilai budaya masyarakat pemiliknya. Hal ini dapat terjadi, mengingat masyarakat Ngada tidak mengenal atau mempunyai otografi daerah seperti Jawa, Bali, Bugis.
Tuturan lisan Su’I Uwi dan O’ Uwi dalam pesta adat Reba ini, mengisahkan tentang asal mula orang Ngada mulai dari saylon sampai tanah Jawa, kemudian menuju Sumba, dan berakhir di Ngada. Orang pertama yang ada di Ngada dari proses pelayaran yang panjang ini adalah Teru dan Tena yang melahirkan seorang anak  bernama Sili. Tokoh Sili inilah yang selalu dikenang dalam upacara Reba karena kesuksesannya dalam menanam ubi (diskorea alata)  yang pada saat itu merupakan makanan utama. Keberhasilannya itu tidak diperoleh dengan begitu saja, tetapi melewati proses yang panjang dan keharusan membagi dengan orang lain. Mengingat Reba ini adalah sebuah mite, maka cerita tentang tokoh Sili ini dianggap suci oleh masyarakat pemiliknya yang perlu  dijaga kelestariannya dari pengaruh IPTEK. Bukti-bukti yang memperkuat cerita ini masih ada, dan upacara ritualnya masih dijalankan, karena Mite Reba ini sangat berkaitan erat dengan keberadaan masyarakat dan perkembangan manusia. Dalam tulisan ini, penulis hanya memfokuskan pada analisis makna tuturan lisan Su’i Uwi dan O’ Uwi serta melihat penerimaan dalam masyarakat.
Terdorong oleh kondisi di atas, serta adanya upaya dan keinginan penulis untuk mendokumentasikan dan melestarikan nilai budaya khususnya tuturan lisan Su’i Uwi dan O’ Uwi sebagai warisan budaya, maka penulisan ini perlu dilakukan untuk menjaga eksistensi tuturan lisan Su’i Uwi dan O’ Uwi sebagai upaya kearah tidak terjadinya kepunahan. Oleh karena itu, analisis resepsi terhadap tuturan lisan Su’I Uwi dan O’ Uwi di dalam Reba sangat diperlukan dalam melihat transformasi nilai budaya dari generasi tua ke generasi muda.
(Djawamaku, 2000:3) mengemukakan bahwa kata Reba mempuyai beberapa arti yaitu
a.       Menunjuk kepada sejenis pohon yang disebut Kaju Reba;
b.      Menujuk kepada pesta adat Reba yang juga disebut Reba Uwi, Buku Reba atau Gua Reba;
c.       Menunjuk kepada larangan memetik kelapa disebut Reba Nio atau larangan untuk mengambil bambu Reba Bheto; dan
d.      Menunjuk kepada kejadian yang tiba-tiba muncul: moe uza reba leza.

Dari empat pengertian di atas, maka tulisan ini lebih mengacu kepada pengertian yang kedua yaitu pesta adat Reba, khususnya tuturan Su’i Uwi dan O’ Uwi,



LATAR BELAKANG BUDAYA MASYARAKAT NGADA
Sistem Kepercayaan “Dewa Zeta Nitu Zale - Allah - Sang Allah
Dewa Zeta Nitu Zale terdiri atas empat kata yang mempunyai arti tersendiri secara terpisah. Namun jika disatukan mengandung suatu pemahaman yang tak terpisahkan dan diucapkan sebagai suatu kesatuan.
Dasar, sumber asalnya yang tepat berada di atas yang disebutnya Zeta - di atas, di ketinggian yang menunjukkan tempat yang tinggi, tempat yang agung atau keagungan. Tangggapan di atas berdasarkan pada pengalaman manusia seperti hujan dari atas. Namun sampai dimana tingginya, hanya diukur dengan kemampuan pandangan mata manusia yang memandang di atas, ke langit. Orang Ngada memahami  Dewa sebagai salah satu dasar atau sunber yang tepat dan transparan, terselubung di balik penglihatan mata biasa manusia - (dele nidi wigo kawi - kao - terhalang sarang  laba - laba ) berada di atas, di tempat yang tinggi.
Dewa itu sebagai pribadi yang memiliki kekuatan yang melampaui kekuatan manusia yang bersemayam di tempat yang tinggi. Dengan demikian, Dewa disinonimkan dengan Allah, kehadiran Allah dalam pengertian agama modern yakni pribadi yang mempunyai kekuatan maha dashyat yang melampaui kekuatan manusia.
Nitu Zale (Zale ulu nitu)
Nitu (ulunitu) kekuatan di bawah tanah (bumi), kekuatan yang memperhatikan dengan sungguh. Nitu dipahami dan didefenisikan atau sebagai satu pribadi yang penuh perhatian, penuh kasih sayang yang memperhatikan suka dan duka manusia. Pemahaman ini lebih bersifat manusiawi dan lebih akrab dengan manusia walaupun tidak kelihatan. Yang paling dekat dengan manusia adalah tanah atau bumi. Maka Nitu adalah satu pribadi yang tinggal di tempat yang dalam, yang disebut Zale Ulu Nitu. Pribadi yang memiliki satu kekuatan yang tidak terbatas yang tidak kelihatan yang tidak dapat dilihat dengan mata biasa, namun penuh perhatian. Zale- di bawah , ke bawah arahnya dari keberadaan manusia daaan kedalamannya sampai dimana tidak disebutkan. Zale tana- ke bawah tanah, zale one tana - di dalam tanah. Bila dihubungkan dengan ulu nitu, misalnya zale one tana, sai zale ulu nitu - di dasar yang paling dalam.
Perbandingan itu dikenalkan pula pada seseorang yang telah lanjut usia yang disebutkan - ana ngata go nitu - seorang yang sudah memiliki kekuatan yang sudah teruji atau magis atau dikenakan pula pada sebatang pohon beringin yang sudah tua, yang disebut da nitu di’ igha atau ne’egha go nitu - telah didiami oleh kekuatan atau kekuasaan yang luar biasa.
Jadi, Nitu dipersonifikasikan dengan satu pribadi yang memiliki satu kekuatan yang luar biasa yang mempengaruhi jalan hidup manusia. Oleh orang Ngada, Nitu Zale senantiasa dihubungkan dengan Dewa sehingga menjadi Dewa Zeta Nitu Zale. Salah satu aspek keilahian Allah, penyelenggaraan ilahi, yang mengantar manusia ke tujuan hidupnya.
Dewa Zeta Nitu Zale merupakan kekuatan dasar yang mendasari moralitas hidup orang Ngada. Karena itu Dewa Zeta Nitu Zale bukan Dewa Zeta Nee Nitu Zale. Jadi Dewa Zeta Nitu Zale merupakan ungkapan kekuatan yang menyatu, Satu kekuatan yang berpribadi yang menyelenggarakan hidup manusia. Satu pribadi yang sempurna. Pemahaman ini memudahkan orang Ngada untuk menerima dan mengakui Allah sebagai pencipta dan penguasa langit dan bumi serta Allah yang maha pengasih dan penyayang yang menyelenggarakan hidup dengan kasih kebapaan dan keibuan yang paling sempurna.
Masyarakat Ngada masih mengenal stratifikasi atau kasta (rang) yang paralel dengan kasta pada masyarakat India (Arndt, terjemahan Lege, 1984). Di Flores gejala lapisan rang ini hanya terdapat di Ngada. Pelapisan sosial yang teratas disebut Ga’e Meze yang memiliki hak-hak khusus dalam persekutuan adat, mengambil bagian pokok dalam upacara termasuk pada wanitanya yang mengepalai pengaturan kebijaksanaan pokok dalam urusan konsumsi.
Pada perayaan korban yang besar dan umum seorang Ga’e Meze harus duduk pada kebha hui (tempat korban dengan daging-daging korban). Korban harus dilaksanakan oleh seorang Ga’e Meze dengan sembelihan khayalan pertama. Dalam perang, korban-korban diberi  sembelihan khayalan pertama oleh seorang Ga’e Meze, sesudah itu hewan korban baru boleh disembelih oleh pemiliknya sendiri. Pada waktu pertempuran mereka menggunakan senjata-senjata yang berkekuatan gaib dan kain penggendong anak sebagai jaminan perlindungan yang lebih aman.
Ga’e Meze itu dibandingkan dengan pohon beringin seperti pohon ara yang keramat bagi orang India yang menaungi dan mekindungi golongan-golongan yang lebih rendah. Mereka juga dibandingkan dengan langit dan matahari. Mereka berfungsi sebagi manusia-manusia yang magis, sebagai orang-orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan atas manusia, yang melalui penyinarannya mereka dapat menguntungkan atau merugikan. Pada proses pembuatan tiap korban dan batu korban yang tinggi di kampung, pada waktu menggotongnya (Bhei Ngadhu) hanya Ga’e Meze-nya harus berdiri di atasnya, dan dipikul bersama dengan tiang korban dan batu korban ke kampung.
Dengan demikian keistimewaan religius dari Brahmana (kasta yang palig tinggi di India) beralih juga pada anggota lapisan ruang yang paling atas di Ngada yaitu Ga’e Meze. Golongan kedua adalah Ga’e Kisa yang bersama-sama dengan Ga’e Meze membentuk golongan atas.
Ga’e Meze merupakan golongan atas yang paling tinggi, sedangkan Ga’e Kisa membentuk golongan atas yang paling rendah. Bersama-sama dengan Ga’e Meze mereka memerintah. Terhadap Ga’e Meze, mereka dibandingkan seperti kayu yang lebih rendah mutunya atau seperti kayu-kayu biasa dengan pohon beringin. Mereka adalah bulan sedangkan Ga’e Meze adalah matahari. Pada waktu perang mereka membentuk sebahagian besar bala pertahanan.
Golongan ketiga berlawanan dengan kedua golongan ini, seperi Wai Sya berlawanan dengan golongan Brahmana dan Ksatrya. Mereka adalah golongan rakyat yang hina. Mereka adalah anggota klan asli, mereka bebas dan memiliki harta benda seperti Ga’e dan Kisa, tetapi mereka berada jauh di bawah dari kedua golongan itu. Mereka tidak mempunyai hal kuasa dalam pemerintahan, mereka harus diam dalam perkumpulan umum. Nama mereka berarti pelayan hamba meski hamba tanpa tuan yang memiliki mereka.
Orang  menyebut golongan ini Ho’o Feo (tak berarti seperti buah kemiri) Ho’o Heo (yang harus mengerik tulang-tulang daging ), Ho’o Roro (yang harus duduk di sebelah kiri rumah dekat pintu), Ho’o Wena Naja (yang nilainya sama dengan pelupu, diatas orang duduk dan berjalan).
Sebagai golongan yang keempat adalah hamba yang sesungguhnya sering mereka adalah bangsa asing, taklukan perang, orang-orang yang dibeli dan keturunannya, seperti golongan Sudra yang adalah orang asing bagi orang Aria.
Kaum lelaki dari lapisan rang yang lebih rendah tidak boleh memperisteri atau menjamah perempuan dari lapisan di atasnya. Pelanggaran hukum ini biasanya menyebabkan lelakinya di hukum mati dan perempuannya diturunkan dari lapisan rang, dikeluarkan dan diusir dari rumah dan kampung serta sanak keluarganya. Anggota dari lapisan rang yang lebih rendah segera melarikan diri ketika mendengar salah seorang dari lapisan rang-nya telah ditangkap, diikat dan dibawa ke dalam kampung sebagai pendosa yang melanggar hukum perkawinan. Mereka menyembunyikan diri di dalam rumah, karena mereka tidak boleh melihat bagaimana terdakwa dihukum mati. Mereka juga takut ketularan kesalahan yang sama.
Orang-orang yang telah disingkirkan dari masyarakat karena melanggar hukum perkawinan ini dilarang untuk turut serta pada pesta korban dan perjamuan korban umum atau sekurang-kurangnya mereka hanya dibiarkan sebagai penonton dari kejauhan. Orang tidak menuntut sumbangan dari pesta mereka, baik beras maupun hewan sembelihan.
Kalaupun mereka membawa seekor kerbau atau seekor babi, maka hal itu harus dimaklumkan dan menabuh gong dan gendang mulai dari pintu masuk kampung ke dalam kampung dimana banyak peserta pesta telah berkumpul, bahwa ‘yang berbahaya’ akan datang, supaya mereka bersiap siaga. Mereka ini tidak boleh berada dekat hewan-hewan atau bahan-bahan korban yang lain dan telah ada lebih dahulu untuk menjaga kesucian bahan korban.
Nasi dan daging dari hewan korban mereka tidak boleh dicampur dengan nasi dan daging dari hewan korban orang lain yang bersih. Karena tidak kalau tidak nasi dan daging akan susut dan tidak cukup lagi bagi peserta pesta, meskipun segalanya telah tersedia secara berlimpah. Hanya kaum lelaki dari lapisan Ga’e Meze yang boleh makan daging korban mereka. Daging yang sisa tidak boleh disimpan, semuanya harus dibuang.
Biasanya hal yang paling buruk dari orang Ngada adalah kematian yang mengerikan dan siksaan kejam lainnya terhadap orang yang bersalah. Disini Dewa menunjukkan kedashyatanya.
Karena itu dapat masuk akal jawaban pemuda lapisan rang bawah yang dituduh berzinah dengan seorang gadis dari lapisan rang atas. Jao Da Ghia Sili, Jao Da Ghia Rae, Jao Da Ghia Siwa (saya takut Sili, Rae, Siwa)
Setiap lapisan rang diwarisi melalui kelahiran (turun-temurun). Tak seorangpun dari lapisan rang bawah bias naik menjadi anggota dari lapisan rang atas.
Situasi dan Proses Penuturan
Penuturan Su’i Uwi dan O’ Uwi berlangsung pada malam hari sekitar pukul 20.00. seluruh anggota klen dari suatu rumah adat berkumpul untuk mendengarkan ungkapan dari ketua adat. Para   wanita tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam rumah, sedangkan yang laki-laki, baik yang tua ataupun yang masih muda bahkan anak-anak diharuskan untuk masuk ke dalam rumah.
Sebelum penuturan dimulai, ketua adat memberikan peringatan kepada para warga agar menyiapkan diri dengan baik dan mempersilahkan para warga untuk membuang air dan makan sirih, karena selama proses penuturan berlangsung, semua warga harus mendengar dengan penuh hikmat dan tidak diperbolehkan untuk keluar atau membuat sesuatu hal yang lain selain mendengarkan tuturan. Bila ada yang melanggar aturan ini maka orang tersebut akan sakit, dan juga akan terjadi musibah kelaparan.
Penuturan Su’i Uwi dan O’ Uwi berlangsung dalam keadaan duduk bersila. Sang ketua adat/penutur memakai pakaian adat, sedangkan para warga, tidak diharuskan memakai pakaian adat, kecuali untuk tuturan O’ Uwi, para penutur dan warga diharuskan memakai pakaian adat, karena setelah itu, para warga/pendengar diharuskan menari, dan tarian yang ditarikan adalah O’ Uwi.
Dalam melakukan tarian ini, perempuan memegang tuba (alat yang dibuat dari bambu aur/kayu yang dipasang dengan bulu ayam atau bulu kuda) di tangan kanan dan sapu tangan atau bulu ayam di sebelah kiri. Tarian ini dilakukan dalam bentuk lingkaran, dan siapa yang hendak bersyair diharuskan maju ke tengah lingkaran dalam bentuk kelompok (2-4 orang). Proses ini dilakukan secara bergantian oleh laki-laki dan perempuan.
Alat dan perlengkapan yang digunakan dalam proses penuturan ini adalah:
1.      Tanaman ubi yang lengkap dengan batang, daun, buah, dan akar (ubi rambat)
2.      Pisau adat (Sau Ga’e)
3.      Buah pinang yang lengkap dengan kelopaknya
4.      Daun sirih
5.      Batang bambu kecil (aur)
6.      Moke yang dituangkan dalam tempurung kelapa yang sudah dibersihkan.
Ubi yang telah disiapkan, akan dipotong-potong, selama proses penuturan berlangsung. Pemotongan ini dilakukan pada saat sang penutur menyebutkan setiap daerah yang disinggahi para leluhur, sehingga potongan-potongan ubi ini mewakili setiap daerah persinggahan. Pisau digunakan untuk memotong ubi. Pisaui ini hanya khusus dipakai untuk memotong ubi dan tidak boleh untuk memotong sembarang benda. Buah pinang, dikunyah bersama daun sirih dan ditaburkan pada daun ubi. Batang bambu digunakan sebagai penolak bala. Bila ada yang sakit pada saat itu, maka ketua adat akan menggosokkan batang bambu itu, dan secara ajaib, orang yang sakit itu sembuh dengan seketika, sedangkan moke adalah minuman khas daerah sehingga pada setiap upacara adat, moke harus selalu ada.
 Nilai nilai yang terkandung dalam tuturan su’i uwi dan o’ uwi pada pesta adat reba
1. Nilai Sosial
Nilai yang paling banyak terdapat dalam upacara Reba menurut Lipus Nanga (66 tahun), adalah nilai sosial, karena nilai ini melekat pada upacara itu sendiri, sejak permulaan hingga selesai. Karena untuk menyukseskan upacara ini, tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh satu orang saja, materi yang diperlukan berupa hewan dan binatang sangat banyak, sehingga secara tidak langsung mengajarkan kepada kita agar saling mendukung dan membantu. Selain itu, dalam upacara ini juga, terutama paada hari terakhir para anggota klen yang berselisih paham diharuskan berdamai. Siapa yang melanggar akan mendapatkan malapetaka seperti:
a.       Mati golo (meninggal tidak wajar, seperti meninggal karena jatuh dari pohon, mati tenggelam, mati dibunuh orang, dan lain sebagainya).
b.      Senu (sinting/gila)
c.       Kelaparan melanda kampung.
2. Nilai Ketabahan dan Harapan
Menurut Yoseph Mude (77 tahun) nilai ini tersirat dari kisah perjalanan para leluhur yang dengan tabah menjelajajahi hutan dan lembah serta sabar mengarungi lautan luas. Kesabaran dan ketabahan inilah yang membawa mereka ke tempat yang dituju yaitu Ngada. Lebih lanjut dikatakan bahwa kesabaran, ketabahan dan harapan ini selalu hadir bersama dalam diri orang yang ingin berhasil. Tidak mungkin orang mau berharap banyak atau mengahrapkan sesuatu kalau dia sendiri tidak sabar dan tabah dalam menjalani hidup, demikian pula sebaliknya tidak mungkin orang bias sabar dan tabah kalau di sendiri tidak mempunyai harapan.
3. Nilai Magis
Nilai ini, tertuang dalam proses upacara yang berlangsung hikmat. Para peserta upacara dengan tenang mengikuti proses ini, sehingga suasana hening ini menyebabkan tuturan yang dituturkan oleh ketua adat semakin mendengung di dalam hati para pendengar. Lantunan syair yang diungkapkan dengan irama yang merdu membuat tuturan ini hadir bagaikan mantra yang dapat membawa para pendengar ke dalam suasana kegaiban.
Selain itu, kegaiban ini juga tercipta karena banyaknya larangan kepada para peserta sebelum upacara atau proses penuturan itu dimulai yang juga disertai dengan pemberitahuan akibat yang ditimbulkan bila ada yang melanggar. Hal ini diungkapkan oleh Lipus Lusi (73 tahun). Lebih lanjut dikatakan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap mite masih sangat kuat, dan mereka percaya bahwa roh nenek moyang, selain dapat membantu manusia yang masih hidup, juga dapat mencelakakannya apabila yang diperbuatnya tidak berkenan di hadapan para leluhur.
4. Nilai Kepemimpinan
Nilai ini menurut Laurensius Watu (68 tahun) dari keberhasilan para leluhur dalam tuturan Su’i Uwi yang berhasil menjelajahi hutan dan lembah serta mengarungi samudera luas. Hal ini tidak mungkin terwujud bila tidak dipimpin oleh seorang pemimpin yang bijaksana. Perjalanan yang begitu jauh, serta waktu yang cukup lama kadang membuat manusia jenuh dan bersifat egois, sehingga kepentingan salah seorang dapat menghambat perjalanan bahkan mungkin gagal. Dalam tuturan Su’i Uwi dikatakan bahwa kedatangan para leluhur di Ngada bukanlah secara kebetulan atau dengan kata lain kesasar, tetapi hal ini sudah direncanakan. Sebelum sampai ke Ngada mereka sempat singgah di beberapa daerah yaitu di Selo/Ceilon, Sina/Cina, Jawa, Raba/Bima, Wio/Sumba, Roja/Ruteng, kemudian baru tiba di Ngada.
Mengingat banyaknya daerah persinggahan (daerah yang dikunjungi), sebelum tiba di Ngada, maka tidak diragukan lagi bahwa tempat yang mereka tuju bukanlah Cina, Ceilon, Jawa, Bima, Sumba, dan Ruteng, melainkan Ngada. Dan untuk sampai di tempat ini diperlukan seorang pemimpin di dalam perjalanan.
5. Nilai Historis
Nilai ini terungkap tuturan Su’i Uwi, di mana semua isi tuturannya mengisahkan perjalanan para leluhur dari tempat yang jauh menyusuri hutan dan lembah kemudian tiba di daerah bernama Selo dan berlayar kea rah timur dan menyinggahi Jawa, Raba, Sumba, Ruteng, dan kemudian bermukim di Ngada.
Hal ini menurut Yohanis Nua (28 tahun) merupakan suatu peristiwa sejarah yang paling hidup di dalam ingatannya, dan membawa imajinasinya untuk melanglang buana, karena menurutnya sangat kontras dengan keadaan sekarang ini, dimana orang Ngada tidak banyak yang menjadi pelaut, dan bahkan lebih dari 75% penduduknya tidak bias berenang, dan lebih lanjut dikatakan bahwa faktor tidak bisa berenang inilah yang menjadi penyebab utama orang Ngada tidak mau menjadi pelaut seperti para leluhurnya.
6.   Nilai Perdamaian
Nilai ini menurut Robert Du’e, terdapat pada akhir upacara yang mengharuskan mereka yang bertikai untuk berdamai. Mereka yang bersalah harus meminta maaf dan mengakui kesalannya, dan hal ini masih sangat kuat pengaruhnya terhadap masyarakat Ngada, karena mereka percaya bahwa pada saat itu, roh para leluhur hadir di tengah-tengah mereka dan melihat apa yang mereka lakukan. Hal inilah yang membuat masyarakat Ngada memanfaatkan situasi ini untuk berkumpul kembali dengan sanak saudara dan meluruskan kembali tali persudaraan yang pernah putus.



7.   Nilai Moral/Ajaran Hidup
Nilai moral ini menurut Darius Logo (30 tahun) sebenarnya tertuang dalam semua proses pelaksanaan upacara. Keharusan untuk melakukan upacara Reba ini setiap tahun, secara tidak lengsung mengingatkan kita agar tidak boleh melupakan tanah kelahiran kita, tidak boleh melupakan sanak saudara, dan untuk membina persaudaran itu, kita perlu berkumpul bersama-sama dan duduk bertukar pikiran. Selain itu, lewat tuturan O’Uwi, kita dapat mengetahui bahwa tanaman uwi, pernah menjadi tanaman penopang hidup manusia.
Pada saat sekarang ini, dimana beras sudah menjadi makanan pokok manusia, uwi/ubi bukanlah sesuatu yang penting bagi kita. Namun dengan tuturan ini, kita diajak untuk rendah hati, tidak boleh sombong, dan berbagi dengan sesame, sebagaimana Sili membagi-bagikannya secar Cuma-Cuma kepada orang yang memerlukan. Diharapkan, kita juga sebagai turunannya dapat berbuat hal yang sama kepada orang lain.











Simpulan
Berdasarkan hasil penulisan diatas dapat disimpulkan bahwa:
Nilai-nilai budaya yang ada dalam tutur Su’i Uwi dan O’Uwi pada upacara reba ada tujuh yaitu:
a.       Nilai Sosial
b.      Nilai Ketabahan dan harapan
c.       Nilai Magis
d.      Nilai Kepemimpinan
e.       Nilai Historis
f.        Nilai Perdamaian
g.       Nilai Moral atau ajaran hidup
Saran
1.    Mengingat upacara Reba ini merupakan suatu budaya yang memegang peranan   penting dalam tradisi orang Ngada, maka perlu dijaga dan dilestarikan sehingga nilai-nilai yang menjadi inti ajaran ini tidak punah.
2.      Tuturan Su’i Uwi dan O’Uwi perlu disusun dalam sebuah buku yang dapat dijadikan bahan pengajaran muatan lokal di sekolah-sekolah terutama pendidikan dasar, sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah tertanam sejak dini.
3.      Peran serta pemerintah dalam melaksanakan budaya daerah, juga sangat diharapkan, mengingat aspek budaya selama ini, cukup potensial untuk dijadikan aspek pariwisata, namun dalam pengelolaannya, pemerintah seringkali terlalu mencampuri sehingga hal-hal yang sifatnya sangat sakral menjadi punah dan sering terabaikan.























4 komentar:

  1. terimakasih atas tulisannya sangat membantu dalam pembuatan makalah saya

    BalasHapus
  2. mat siang bang Lukas, ..
    saya mau tanya apakah makalah yang ka'e buat ini dari data pengamatan langsung wawancara terliba ataukah tinjauan pustaka ka'e..??

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini ada yg tinjauan pustaka dan wawancara langsung serta pengisian kuisoner

      Hapus